Pada akhir bulan Mei 2025 lalu, tepatnya dari tanggal 28 hingga 31 Mei, saya berkesempatan mengikuti sebuah perjalanan yang telah lama dinantikan bersama rombongan rekan kerja. Trip Dieng Jogja ini sudah kami rencanakan jauh-jauh hari dan membutuhkan waktu beberapa bulan untuk menabung. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan libur akhir pekan yang panjang, sehingga sangat ideal untuk berpetualang.
Karena masih ada beberapa kursi kosong di dalam bus, saya pun mengajak ananda untuk ikut serta, yang berarti pembayaran menjadi dobel. Hal serupa juga dilakukan oleh beberapa rekan kerja lainnya, yang turut membawa serta anggota keluarga mereka. Alhasil, kuota satu bus terisi penuh, menciptakan suasana perjalanan yang lebih hangat dan ramai.
Untuk memastikan kelancaran trip ke Dieng dan Jogja ini, kami memilih untuk bekerja sama dengan sebuah agen perjalanan. Keputusan ini terbukti tepat, karena kami hanya perlu duduk manis dan mengikuti setiap arahan dari Tour Leader, menjadikan pengalaman perjalanan terasa lebih nyaman dan bebas repot.
Kunjungan Hari Pertama: Eksplorasi Kawasan Dataran Tinggi Dieng
Perjalanan kami dimulai dari Cibadak pada hari Kamis, 28 Mei 2025, pukul 16.00 sore. Setelah menempuh perjalanan semalaman, kami tiba pada hari Jumat, 29 Mei 2025, pukul 02.30 dini hari di Shalter Tayo Wonosobo. Di sini, kami beristirahat sejenak sekitar 30 menit sebelum melanjutkan petualangan.
Selanjutnya, kami beralih moda transportasi ke bus-bus kecil yang akrab disebut “bus Tayo”. Tiga bus Tayo siap mengangkut kami menuju Bukit Sikunir Dieng, sebuah destinasi yang terkenal dengan pemandangan matahari terbitnya yang memukau. Perjalanan singkat sekitar 40 menit mengantarkan kami ke kaki bukit yang masih gelap gulita.
Sesampainya di titik keberangkatan, kami segera memulai pendakian menuju puncak Bukit Sikunir. Beberapa rekan memutuskan untuk tidak ikut mendaki karena kondisi fisik yang kurang memungkinkan. Jalan yang kami lalui didominasi oleh anak tangga yang menanjak, diselingi sesekali oleh jalan datar. Awalnya saya berjalan bersama ananda, namun karena langkahnya yang cepat, saya memintanya untuk mendahului. Saya kemudian melanjutkan pendakian bersama rekan-rekan lainnya.
Kami beberapa kali berhenti sejenak untuk mengambil napas dan beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju pos pertama dan pos kedua. Di pos kedua, terdapat sebuah musala sederhana berbentuk rumah panggung. Kami bergantian melaksanakan salat Subuh di tempat ini, merasakan ketenangan di tengah hawa dingin pegunungan.
Penjaga musala menginformasikan bahwa perjalanan menuju puncak Bukit Sikunir tinggal sekitar 200 meter lagi. Di sini, saya bergabung dengan dua orang rekan yang beberapa bulan lagi akan memasuki masa pensiun. Semula keduanya ragu untuk melanjutkan, namun setelah saya ajak dan beri semangat, mereka pun bersedia kembali mendaki. Saya berjalan perlahan, menyesuaikan langkah dengan mereka, berhenti sejenak ketika merasa lelah, hingga akhirnya kami semua berhasil mencapai puncak Bukit Sikunir.
Pukul 05.30, suasana di sekitar Bukit Sikunir mulai terang, pertanda matahari akan segera terbit. Untungnya, tidak ada kabut tebal yang menyelimuti gunung, sehingga pemandangan di sekitar terlihat sangat jelas dan menawan. Kami duduk-duduk sambil menunggu momen matahari terbit. Sayangnya, matahari tidak terlihat langsung karena terhalang oleh gugusan gunung, namun semburat warna kuning keemasan yang menghiasi langit tetap menciptakan panorama yang begitu indah dan memukau.
Tidak hanya rombongan kami, banyak pengunjung lain yang juga memadati puncak. Semua terlihat sibuk mengabadikan keindahan alam yang terhampar di depan mata, baik dengan berswafoto maupun berfoto bersama. Setelah seluruh anggota rombongan berkumpul, kami pun tak melewatkan kesempatan untuk sesi foto bersama yang tak terlupakan.
Ketika sebagian rekan masih asyik berfoto di puncak, ananda mengajak saya untuk segera turun. Hari sudah siang, dan jalur pendakian yang terlewati sebelumnya masih berupa tanah dan bebatuan. Di bawah musala, terdapat sebuah posko dengan petugas yang tak henti-hentinya mengingatkan para pengunjung untuk selalu berhati-hati saat mendaki maupun menuruni bukit. Di dekat posko, juga tersedia beberapa saung kecil yang bisa digunakan pengunjung untuk beristirahat.
Kami terus berjalan hingga tiba di tempat parkir bus, di mana banyak pedagang menjajakan makanan, minuman, dan oleh-oleh khas Dieng. Rekan-rekan yang tidak ikut mendaki terlihat sedang bersantai di salah satu warung. Saya dan ananda memilih menunggu di sebuah warung, menumpang mengisi daya ponsel sambil memesan minuman hangat. Pukul 08.00, kami kembali menaiki bus Tayo yang kemudian mengantar kami menuju restoran untuk sarapan pagi, dilanjutkan dengan kunjungan ke Batu Pandang Ratapan Angin.
Di Batu Pandang Ratapan Angin, kami mendaki ke atas dan menemukan banyak spot foto yang sangat menawan. Dari puncak sebuah bangunan tinggi, kami bisa menyaksikan pemandangan pegunungan yang luas, kepulan asap kawah yang mistis, serta keindahan Telaga Warna Dieng yang memukau. Setelah menghabiskan kurang lebih satu jam di sini, kami kembali naik bus Tayo menuju shalter bus untuk beristirahat. Ada salah satu rekan kami yang mengalami kram kaki, sehingga kami menunggu hingga ia siap kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah semuanya siap, bus berangkat mengantarkan kami menuju Jogja. Sebelumnya, kami singgah di sebuah restoran di Magelang untuk makan siang dan melaksanakan salat Dhuhur. Perjalanan berlanjut dengan lancar.
Pukul 15.30 sore, kami akhirnya tiba di Jogja. Destinasi pertama kami adalah pusat oleh-oleh untuk membeli bakpia pathok yang legendaris. Setelah puas berbelanja, kami diantar ke hotel tempat kami akan menginap. Begitu mendapatkan kamar, saya dan ananda segera mandi bergantian. Setelah salat Magrib, saya mengambil jatah makan malam berupa nasi kotak berisi gudeg Jogja yang masih hangat. Nasi gudeg itu saya simpan dulu, karena kami berencana untuk berjalan-jalan malam di Malioboro.
Ketika menghubungi rekan-rekan lain, ternyata mereka belum siap. Akhirnya, saya dan ananda memutuskan untuk berangkat berdua saja, naik bentor yang sedang mangkal di depan hotel. Kami berkeliling sebentar, dan kebetulan ada tukang foto profesional tepat di jalan dengan tulisan Malioboro. Kami pun ikut antre untuk difoto. Dengan biaya Rp5.000,00 per foto, hasilnya sangat bagus dan langsung dikirim ke ponsel kami. Saat pulang, saya dan ananda memilih berjalan kaki karena ternyata jarak dari Malioboro ke hotel tidak terlalu jauh. Di depan Stasiun Jogja, kami berpapasan dengan rekan-rekan lain yang baru saja keluar. Sesampainya di kamar hotel, kami langsung menikmati santapan malam dan beristirahat hingga pagi.
Kunjungan Hari Kedua: Petualangan di Jogja dan Sekitarnya
Pukul 04.00 pagi, kami sudah terbangun. Setelah mandi dan melaksanakan salat Subuh, kami segera berkemas, karena setelah sarapan pagi, kami akan langsung berangkat menuju objek-objek wisata Jogja lainnya.
Objek wisata pertama yang kami kunjungi adalah Candi Prambanan, yang berjarak sekitar 17 km dari pusat kota Jogja. Pukul 09.00, kami sudah tiba. Setelah mendapatkan tiket, kami langsung memasuki kompleks candi dan mulai menjelajahi bagian dalamnya. Melihat kemegahan candi ini, pikiran saya langsung teringat pada kisah legenda Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang. Selain rombongan kami, kompleks candi ini juga dipadati oleh banyak pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri. Terlihat banyak anak sekolah yang antusias meminta foto dengan turis asing, menciptakan suasana yang ramai dan multikultural.
Setelah puas berkeliling, saya dan ananda memilih naik mobil wara-wiri dengan membayar Rp20.000,00 untuk diantar sampai pintu keluar. Selama perjalanan, supir menyebutkan nama-nama kompleks candi lain yang kami lewati, seperti Candi Bubrah, Candi Sewu, dan Candi Lumbung, menambah wawasan kami tentang kompleks percandian ini. Setibanya di pintu keluar, kami sempat mampir di warung untuk membeli mie ayam dan minuman, sebelum akhirnya keluar melewati deretan pedagang oleh-oleh dan souvenir khas.
Setelah seluruh anggota rombongan berkumpul kembali di dalam bus, perjalanan kami lanjutkan menuju objek wisata Gunung Merapi. Ketika sampai di sana, waktu sudah menunjukkan waktu salat Dhuhur, sehingga kami segera melaksanakan salat di masjid terdekat. Usai salat, kami bersiap untuk pengalaman yang mendebarkan: naik jip. Setiap jip sudah dilengkapi dengan sopir, dan satu jip dapat diisi oleh 3 sampai 4 penumpang.
Satu per satu jip yang kami tumpangi melaju, membawa kami dalam petualangan menyusuri lereng Merapi. Pemberhentian pertama adalah di Bukit Triangulasi yang berlokasi di The Lost World Park, sebuah area yang menandai batas tinggal manusia di Gunung Merapi. Setelah titik ini, tidak ada lagi yang diizinkan untuk membangun rumah atau menetap. Area ini dipenuhi dengan banyak spot foto menarik, dan di setiap sudut, fotografer profesional siap mengabadikan momen-momen pengunjung. Dari sana, kami kembali naik jip menuju Museum Mini Sisa Hartaku, sebuah tempat yang menampilkan jejak keganasan letusan Gunung Merapi pada bulan Oktober 2010.
Ternyata, bukan hanya rombongan kami yang berkunjung ke sana; jumlah jip yang terparkir sangat banyak, menunjukkan popularitas lokasi ini. Di kawasan museum, pengunjung dapat masuk ke rumah peninggalan Bapak Sriyanto dan juga Mbah Marijan, juru kunci Gunung Merapi yang legendaris. Berbagai foto “wedus gembel” atau awan panas dipajang di dinding, memberikan gambaran mengerikan tentang dahsyatnya letusan. Kami melihat benda-benda seperti TV dan radio yang meleleh, rangka sepeda dan motor, lampu petromak, serta benda-benda lainnya termasuk rangka hewan yang terbakar. Melihat museum ini sungguh menjadi pengingat bahwa harta hanyalah titipan, yang bisa lenyap kapan saja dalam sekejap.
Setelah dari museum, perjalanan kami lanjutkan menuju sungai. Ini adalah bagian yang paling seru karena jip kami melewati aliran sungai sebanyak tiga kali secara bergantian, membuat baju kami basah kuyup oleh percikan air. Kami kemudian diantar kembali oleh sopir jip ke tempat parkir bus. Ananda langsung mandi dan berganti baju, sedangkan saya hanya berganti baju saja. Setelah itu, kami menikmati makan siang di restoran yang berada di sekitar area tersebut.
Ketika hendak naik bus, kami melihat foto-foto kami yang sudah dicetak diletakkan di bawah. Awalnya dibanderol Rp15.000,00 per buah, harganya turun menjadi Rp10.000,00, membuat saya tak ragu untuk membeli beberapa buah foto sebagai kenang-kenangan. Perjalanan pun dilanjutkan menuju Heha Sky View, yang berlokasi di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. Menjelang Magrib, kami tiba di sana, dan hal pertama yang kami lakukan adalah mencari musala untuk salat.
Heha Sky View menawarkan banyak spot foto yang sangat cantik serta area kuliner yang beragam. Karena sudah cukup lelah, saya dan ananda memilih untuk duduk santai di sebuah ruangan terbuka dengan alas bantal yang nyaman. Kami memandang langit yang jernih dan melihat bulan sabit yang indah. Di bawahnya, terhampar pemandangan kota yang memukau dengan kerlap-kerlip lampu yang bertebaran. Suasana terasa syahdu, apalagi diiringi oleh alunan lagu merdu yang dinyanyikan secara langsung oleh seorang vokalis di kafe sebelah. Setelah itu, ananda mengajak saya ke area kuliner, di mana kami membeli dimsum dan minuman dingin yang menyegarkan.
Pukul 19.30, kami keluar dari Heha Sky View dan langsung menuju restoran terdekat dari tempat parkir bus untuk makan malam. Pukul 20.30, bus mulai melaju, membawa kami pulang kembali ke Sukabumi.
Perjalanan pulang berjalan lancar. Pukul 05.30 pagi, kami mampir di Rosin Rest Area Subang untuk melaksanakan salat Subuh, yang dilanjutkan dengan sarapan pagi. Setelah itu, perjalanan kembali dilanjutkan, dan pukul 09.00 pagi, kami semua sudah tiba kembali dengan selamat di rumah masing-masing.
Wasana Kata
Trip Dieng Jogja yang kami jalani kali ini, dengan durasi dua hari perjalanan, satu malam menginap, dan dua hari penuh kunjungan ke berbagai destinasi wisata di Dieng serta Jogja, meskipun agendanya sangat padat, benar-benar meninggalkan kesan yang mendalam. Walaupun waktu yang terbatas, pihak travel berhasil memaksimalkannya dengan sangat baik, sehingga kami merasakan petualangan yang begitu seru dan menarik. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini. Salam hangat dan bahagia selalu.
#Tulisan ke-95 di tahun 2025
Cibadak, 16 Juni 2025
Tati Ajeng Saidah untuk Kompasiana