Posted in

Kafe Kematian Thailand: Turis Inggris Pulang Minta Maaf ke Ibu!

Bangkok, Thailand – Sebuah pengalaman tak lazim menanti Tyla Ferguson-Platt, seorang turis asal Inggris, saat ia memutuskan untuk menjelajahi sebuah kafe kematian di Bangkok. Bukan sekadar tempat minum kopi biasa, kafe ini menawarkan simulasi yang mendalam tentang siklus kehidupan dan kematian, sebuah konsep unik yang menarik perhatian Platt.

Kafe unik ini dikenal sebagai Kid Mai Death Awareness Cafe, atau juga disebut Death Awareness Cafe, telah beroperasi sejak tahun 2018. Kisahnya berawal ketika Platt menemukan unggahan menarik tentang kafe ini di Reddit, mendorongnya untuk berkunjung ke sana tanpa sedikit pun ekspektasi.

Setibanya di sana, Platt disambut oleh Keue, pengelola kafe, yang dengan ramah menjelaskan filosofi di balik pendirian tempat ini. Ternyata, Kid Mai Death Awareness Cafe didirikan oleh seorang filsuf Buddha terkemuka, Dr. Veeranut Rojanaprapa. Misinya adalah mengatasi permasalahan sosial yang merajalela di Thailand, seperti kejahatan dan korupsi. Dr. Veeranut meyakini bahwa akar dari segala keburukan tersebut adalah keserakahan dan kemarahan.

Oleh karena itu, melalui kafe ini, beliau berupaya menumbuhkan kesadaran akan kematian yang mendalam, selaras dengan ajaran Buddha. Harapannya, dengan merenungkan kefanaan hidup, setiap individu akan terdorong untuk menjalani hidup dengan lebih damai, penuh kesadaran, dan menjauhi perilaku negatif.

Lantas, seperti apakah pengalaman Tyla Ferguson-Platt saat menyelami konsep kematian di kafe unik tersebut?

Baca juga: Daftar Restoran dan Kafe yang Gelar Promo 6.6, Termasuk Pizza Hut dan JCo

Kafe dengan 4 Tahap Kehidupan-Kematian

Kid Mai Death Awareness Cafe dirancang dengan instalasi pameran yang menarik, membagi pengalaman menjadi empat tahapan inti kehidupan: kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian. Mari kita ikuti langkah Tyla Ferguson-Platt dalam menjelajahi setiap fase tersebut, yang dilaporkan juga oleh BBC.

1. Ruang Kelahiran

Perjalanan Tyla Ferguson-Platt dimulai di ruang kelahiran. Awalnya, ruangan ini dipenuhi cahaya berkedip yang menyerupai gambaran bagian dalam tubuh. Perlahan, lampu meredup, menciptakan suasana gelap seperti di dalam rahim ibu. Keue mengarahkan Platt untuk berbaring di sebuah kursi gantung merah yang melambangkan rahim. Setelah Platt mengambil posisi janin, ritsleting kursi pun ditutup.

Dalam keterbatasan ruang gerak, Platt merasakan ketidaknyamanan yang mendalam. Pengalaman ini membukakan matanya, menyadarkannya bahwa bahkan pada fase awal kehidupan sebagai janin, penderitaan sudah dapat dirasakan.

2. Ruang Penuaan

Beralih ke tahap berikutnya, ruang penuaan, Platt mengalami simulasi yang lebih intens. Kakinya diikat dengan tas berbobot berat untuk menirukan sensasi melemahnya kekuatan otot yang datang seiring usia. Sebuah kacamata khusus juga dikenakan, membuat pandangannya kabur, persis seperti pandangan orang tua. Ketika mencoba menaiki tangga, Platt merasakan kesulitan dan merasakan secara langsung bagaimana fungsi tubuhnya mulai melemah.

Baca juga: Pengunjung Kafe di Jepang Ini Tak Boleh Pulang Sebelum Memecahkan Misteri

3. Ruang Penyakit

Selanjutnya, Platt memasuki ruang penyakit, sebuah simulasi yang sangat realistis. Ia diminta berbaring di ranjang rumah sakit tiruan yang dilengkapi dengan tabung oksigen, monitor jantung, dan berbagai alat medis lainnya, menciptakan suasana yang autentik. Dalam suasana tersebut, Keue mengajukan pertanyaan yang menusuk hati: “Dengan siapa Anda ingin berbicara jika Anda akan meninggal?”

Tanpa ragu, Platt spontan menyebut ibunya. Penyesalan mendalam tentang hubungan yang terputus akibat perceraian orang tuanya, dan kemarahan yang belum terselesaikan, langsung menyeruak. Keue melanjutkan dengan pertanyaan yang lebih mendalam, “Sekarang katakan padaku, apa yang ingin kamu katakan kepada ibumu jika ini adalah saat terakhirmu di Bumi?” Pertanyaan ini memicu gelombang emosi pada Platt, membayangkan momen-momen terakhir hidupnya. Dalam kesadaran yang menyakitkan itu, ia menyadari urgensi untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ibu selagi masih ada waktu. “Saya harus berbaring di ranjang rumah sakit tiruan yang aneh di tengah kota Bangkok untuk menyadari hal ini,” ungkap Platt, menggambarkan betapa kuatnya pengalaman tersebut.

4. Ruang Kematian

Saat memasuki ruangan terakhir, pikiran Tyla Ferguson-Platt sudah sepenuhnya terpusat pada masalah hubungannya dengan sang ibu. Di hadapannya, sebuah peti mati putih bersih terhampar di atas tangga hitam, dengan tulisan “kematian” yang terpampang jelas di dinding. Platt memberanikan diri berbaring di dalamnya, memejamkan mata, dan meresapi bayangan kematiannya sendiri.

Kecemasan melandanya, namun pada saat yang sama, ia kembali pada kesadaran bahwa penyesalan terbesar adalah meninggal tanpa berdamai dengan ibunya. Tiba-tiba, sebuah perasaan ringan dan jernih menyelimutinya, seolah beban berat yang selama ini dipikulnya telah terangkat. Platt menyimpulkan bahwa kunjungan ke kafe kematian ini bukanlah pengalaman yang menakutkan, melainkan sebuah pencerahan yang memberikannya kesadaran mendalam tentang prioritas sejati dalam hidup.

Baca juga: Tren Kafe di China, Rekrut Anjing dan Kucing Jadi Karyawan dengan Bayaran Makanan Kaleng

Sejak kembali dari Bangkok dan pengalaman transformatif di Kid Mai Death Awareness Cafe, Platt segera mengambil langkah untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ibu, dengan tulus meminta maaf. “Kami baru-baru ini berbicara di sebuah acara kumpul keluarga. Memang tidak sempurna. Namun ini adalah sebuah awal,” tuturnya, menandai dimulainya babak baru dalam hubungan mereka, berkat kesadaran akan kematian yang ia dapatkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *