Mysites – Kabar mengejutkan datang dari dunia penerbangan. Qantas Airways, maskapai kebanggaan Australia, memutuskan untuk mengakhiri operasional Jetstar Asia, anak perusahaannya yang berbasis di Singapura. Penutupan ini dijadwalkan efektif pada akhir Juli 2025, menandai akhir dari perjalanan panjang maskapai berbiaya rendah tersebut di pasar Asia.
Langkah berat ini diambil bukan tanpa alasan. Qantas menyebutkan kombinasi faktor yang memberatkan, termasuk lonjakan biaya operasional, mahalnya tarif bandara, serta persaingan sengit yang semakin memanas di antara maskapai penerbangan di kawasan Asia. Kombinasi tantangan ini membuat Jetstar Asia kesulitan untuk bersaing dan mencapai profitabilitas yang diharapkan.
Keputusan ini akan berdampak pada sekitar 500 karyawan Jetstar Asia yang terancam kehilangan pekerjaan. Selain itu, berhentinya operasional maskapai ini juga akan memengaruhi konektivitas penerbangan di kawasan tersebut. Saat ini, Jetstar Asia melayani 16 rute penerbangan dari Bandara Changi Singapura, menghubungkan berbagai destinasi penting di Asia.
Armada Jetstar Asia yang terdiri dari 13 pesawat Airbus A320 tidak akan dibiarkan menganggur. Pesawat-pesawat ini akan dipindahkan ke Australia dan Selandia Baru, memperkuat jaringan penerbangan Qantas di pasar domestik dan regional. Langkah ini menjadi bagian dari strategi restrukturisasi yang lebih luas untuk meningkatkan efisiensi dan profitabilitas.
Persaingan di sektor penerbangan berbiaya rendah memang semakin sengit pasca-pandemi. Maskapai seperti Scoot (anak perusahaan Singapore Airlines), AirAsia (Malaysia), dan VietJet (Vietnam) telah bangkit kembali dan bahkan memperluas layanan mereka. Ekspansi ini memicu perang harga tiket, yang pada akhirnya menekan pendapatan maskapai lain, termasuk Jetstar Asia.
CEO Jetstar Group, Stephanie Tully, mengungkapkan bahwa biaya operasional di Singapura mengalami kenaikan yang signifikan. “Biaya kami di Singapura naik sangat tinggi,” ujarnya, menyoroti kenaikan dua digit pada biaya bahan bakar, tarif bandara, layanan penanganan darat, dan biaya keamanan.
Tully menambahkan bahwa Jetstar Asia hanya mampu mencatatkan laba dalam enam dari 20 tahun beroperasi. Pada tahun ini saja, maskapai tersebut diperkirakan akan mengalami kerugian operasional sebesar 35 juta dolar Australia (sekitar Rp370 miliar) sebelum bunga dan pajak. Angka ini menjadi sinyal yang jelas bahwa perubahan perlu segera dilakukan.
Dengan menutup Jetstar Asia, Qantas berharap dapat mengalihkan dana hingga 500 juta dolar Australia (sekitar Rp5,29 triliun) ke bisnis utamanya. Sebagian besar nilai tersebut berasal dari 13 pesawat Jetstar Asia, yang akan dimanfaatkan untuk menggantikan pesawat sewaan yang lebih mahal di Australia. Langkah ini diharapkan dapat menekan biaya dan meningkatkan margin keuntungan.
Jetstar Asia akan mengurangi jadwal penerbangan secara bertahap hingga penutupan total pada 31 Juli 2025. Penumpang yang terkena dampak penutupan ini akan menerima pengembalian uang penuh. Qantas juga berupaya untuk memindahkan penumpang ke maskapai lain jika memungkinkan, demi meminimalkan gangguan perjalanan.
Qantas memperkirakan akan mencatat kerugian satu kali sebesar 175 juta dolar Australia (sekitar Rp1,85 triliun) akibat penutupan Jetstar Asia. Kerugian ini akan dibukukan dalam dua tahun keuangan. Meskipun saham Qantas sempat turun sekitar 1 persen setelah pengumuman ini, perusahaan menegaskan bahwa permintaan perjalanan tetap kuat, baik untuk rute domestik maupun internasional.
Stephanie Tully menjelaskan bahwa lonjakan biaya Jetstar Asia sangat terasa dalam 18 hingga 24 bulan terakhir. Bandara Changi, salah satu bandara tersibuk di dunia, telah menaikkan tarif secara bertahap sejak tahun lalu dan akan terus melakukannya hingga 2030. Kenaikan tarif ini bertujuan untuk mendanai investasi dan operasional bandara yang berkelanjutan.
Selain kenaikan tarif, Jetstar Asia juga sempat memprotes pemindahan operasional dari Terminal 1 ke Terminal 4 pada Maret 2023. Terminal 4 tidak terhubung dengan sistem kereta bandara, yang menurut Jetstar Asia berdampak negatif pada bisnis mereka. “Kami rasa hal itu berdampak pada bisnis,” kata Tully.
Pihak pengelola Bandara Changi menyatakan kekecewaannya atas keputusan Jetstar Asia untuk meninggalkan Singapura, namun menghormati pertimbangan bisnis maskapai tersebut. Jetstar Asia menyumbang sekitar 3 persen dari total lalu lintas penumpang di Bandara Changi pada tahun lalu. Bandara akan bekerja sama dengan maskapai lain untuk mengisi kekosongan kapasitas yang ditinggalkan, termasuk di empat rute yang saat ini hanya dilayani oleh Jetstar Asia.
Penutupan Jetstar Asia tidak akan memengaruhi operasi Jetstar Airways di Australia maupun Jetstar Japan di Jepang. Dari 13 pesawat milik Jetstar Asia, enam unit akan digunakan untuk menggantikan pesawat sewaan di Jetstar Australia. Empat unit lainnya akan menggantikan pesawat lama milik Qantas yang selama ini melayani rute industri pertambangan. Dua pesawat akan digunakan Jetstar Australia untuk meningkatkan kapasitas dan membuka rute baru, sementara satu pesawat akan dialihkan ke Jetstar Selandia Baru. Perpindahan ini diperkirakan akan menciptakan lebih dari 100 lapangan kerja baru di kawasan tersebut.
Qantas berkomitmen untuk memberikan dukungan kepada karyawan Jetstar Asia yang terdampak penutupan. Mereka akan menerima tunjangan pemutusan hubungan kerja serta bantuan pencarian kerja, baik di dalam grup Qantas maupun di maskapai lain. Kongres Serikat Pekerja Nasional Singapura (National Trades Union Congress) telah mengetahui rencana ini sebelum diumumkan dan bekerja sama dengan Singapore Airlines, Otoritas Penerbangan Sipil Singapura, dan Bandara Changi untuk membantu para pekerja yang terdampak. Singapore Airlines juga telah menyiapkan jalur khusus bagi staf Jetstar Asia yang ingin melamar kerja di dalam grup mereka.