Posted in

Perjalanan Kebersamaan Sahabat Karmel Tak Berkasut Yogyakarta dalam Ziarah Yubileum

Perjalanan Kebersamaan Sahabat Karmel Tak Berkasut Yogyakarta dalam Ziarah Yubileum “Di tengah hiruk-pikuk dunia, kami menemukan kedamaian dalam langkah-langkah kecil menuju Tuhan.”

Pagi kemarin (14 Juni 2025), udara Gadingan masih menyimpan embusan angin pagi yang lembut. Di Biara Ordo Karmel Tak Berkasut (OCD) Yogyakarta, sekelompok orang berkumpul dengan hati yang penuh harapan dan kerinduan akan pengalaman iman bersama. Sebanyak 16 jiwa, terdiri dari dua Romo, dua Frater, empat anak/remaja, satu bapak, dan selebihnya ibu-ibu, hadir sebagai Sahabat Karmel Tak Berkasut Yogyakarta, siap memulai perjalanan ziarah jubileum yang sarat makna spiritual.

Sebelum melangkah lebih jauh, rombongan berkumpul untuk merayakan Misa Suci pembuka ziarah. Dalam homili Misa yang dipimpin oleh Pater Remigius Todang, OCD, disampaikan juga makna Tahun Jubilium 2025 yang dicanangkan oleh Paus Fransiskus, sebuah tahun suci yang mengajak seluruh umat Kristiani di dunia untuk kembali kepada akar iman: pengampunan, rekonsiliasi, kesatuan, dan belas kasih Allah yang tak berkesudahan.

Paus Fransiskus telah menetapkan Tahun Jubilium ini dengan tema “Persaudaraan yang dipulihkan” , mengingatkan kita bahwa sesungguhnya kita diciptakan untuk hidup bersatu – dengan Allah dan sesama manusia. Dalam dunia yang semakin individualis dan terpecah-pecah, Jubileum menjadi panggilan mendalam untuk membuka pintu hati, menebar damai, dan menjadikan gereja sebagai rumah bagi semua orang.

Bagi para sahabat Karmel, ziarah ini pun menjadi bagian dari respons terhadap panggilan tersebut: menjadi pribadi-pribadi yang semakin dekat dengan Tuhan dan semakin peduli pada sesama.

Menuju Porta Sancta: Pintu Pengampunan dan Rekonsiliasi

Pukul 09.15, rombongan bergerak menuju Porta Sancta di Gereja Mater Boni Concilii, Wates. Empat mobil berisi anggota keluarga Sahabat Karmel ini membawa bukan hanya bekal fisik, tetapi juga sukacita persaudaraan yang tulus. Di jalan, percakapan ringan, tawa, dan nyanyian pujian menjadi irama perjalanan yang mewarnai hari.

Perjalanan membela keramaian jalanan Yogyakarta dan sekitarnya, melewati gang-gang kampung yang sudah teraspal dan terhubung dengan jalan-jalan utama, sembari menikmati hamparan sawah atau pepohanan yang masih tersisa di pekarangan rumah atau kebun-kebun petani.

Tiba di Gereja Mater Boni Concilii, suasana hening dan khidmat menyambut. Di sinilah Porta Sancta (Pintu Suci) dibuka sebagai bagian (dari perayaan Yubileum 700 tahun Ordo Karmel Tak Berkasut dan 25 Tahun kehadiran OCD di Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang) ziarah Pengharapan yang dicanangkan Paus Fransiskus. Melewati pintu ini, para sahabat tidak sekadar menjalani ritual, tetapi mengambil langkah batin menuju pembaruan iman.

Setiap langkah melewati Pintu Suci adalah penyerahan diri yang lebih dalam. Di sini, mereka mengingat janji baptis, bertobat, dan membuka hati untuk belas kasih Allah yang tak pernah habis. Ada air mata, ada syukur, ada permohonan yang diam-diam diserahkan di hadapan Sang Penguasa Hidup.

Setelah itu, seluruh peserta ziarah masuk ke kapel untuk Adorasi Sakramen Mahakudus. Dalam hening, mereka duduk dan berlutut di hadapan Yesus yang Hadir Nyata. Doa-doa lirih, lagu-lagu pujian, dan waktu sunyi menjadi jembatan antara jiwa dan Sang Pencipta.

Ziarah ke Gua Maria Jatiningsih: Menyapa Bunda dalam Kesederhanaan

Perjalanan dilanjutkan ke Gua Maria Jatiningsih, sebuah tempat ziarah yang tenang dan teduh di lereng Gunung Srandil. Di tengah keteduhan alam, para sahabat berkumpul dalam doa Rosario bersama. Setiap butir doa yang tersusun seperti untaian bunga cinta kepada Bunda Maria.

Dengan penuh kerendahan hati, mereka mempercayakan hidupnya pada teladan kesetiaan Bunda Maria. Anak-anak pun turut ambil bagian, menunjukkan bahwa iman harus terus diturunkan dan dirawat dalam generasi muda.

Doa Rosario diiringi angin sepoi-sepoi, dedaunan yang bergoyang, dan hati yang terbuka. Di sinilah, persaudaraan Karmel semakin kuat karena dipersatukan oleh Bunda Maria dan Kristus Ekaristi.

Kopi Ingkar Janji: Rekreasi dengan Rasa Syukur

Setelah ziarah rohani, rombongan melanjutkan perjalanan ke Kopi Ingkar Janji di Nanggulan, sebuah tempat rekreasi yang menyajikan nuansa pegunungan dan secangkir kopi hangat dan aneka jajanan desa lainnya. Di sini, para sahabat beristirahat, menikmati hidangan kopi ala ingkar janji (daripada janji manusia, lebih janji kopi yang tertelan dalam perut), dan saling berbagi cerita dan menikmati foto bersama di hari yang mulai menua alias senja.

Momen ini bukan sekadar rekreasi biasa, tetapi juga simbol bahwa iman tidaklah kaku – iman bisa hadir dalam tawa, gurau, dan kebersamaan. Di bawah naungan pohon rindang dan udara segar, hubungan rohani semakin erat karena dilandasi kasih yang tulus. 

Kedai Kopi Ingkar Janji seakan melengkapi healing rohani sehingga mampu melenturkan kelelahan atau kaki yang pegal-pegal selama duduk di atas mobil. Anak-anak bisa menikmati ayunan sepuas hati sembari tertawa riang tanpa beban. Dunia anak memang dunia yang membahagiakan sembari meneladan semangat Teresia dari Kanak-Kanak Yesus yang menyerahkan diri di usia sangat muda untuk melayani Tuhan dengan menjadi suster, bahkan menjadi misionaris dari kamar sempitnya dalam biara dengan mengirimkan doa-doa untuk para misionaris.

Refleksi Akhir: Dalam Perjalanan, Kami Menemukan Rumah Rohani

Ziarah ini bukan hanya tentang tempat atau ritus. Ini adalah perjalanan batin menuju Tuhan dalam komunitas . Di tengah dinamika hidup modern yang seringkali memisahkan, perjalanan ini menjadi panggilan untuk kembali bersatu dalam iman, doa, dan kasih.

Para sahabat Karmel Tak Berkasut Yogyakarta tidak hanya menempuh jarak geografis, tetapi juga melangkah menuju keintiman dengan Allah dan sesama. Dalam setiap doa Rosario, kunjungan ke Porta Sancta, adorasi Sakramen Mahakudus, dan tawa di warung kopi, terdapat benang merah kerinduan akan Tuhan.

Kerinduan akan Tuhan ini merupakan sebuah perjalanan. Ya, perjalanan yang mengingatkan kita bahwaiman itu tidak sendirian, iman itu lahir dan tumbuh dalam persekutuan, beresonansi dalam loving, caring dan sharing (dalam kasih, perhatian dan saling memberi).

Dan di akhir hari, ketika matahari mulai tenggelam, rombongan kembali pulang dengan hati yang hangat dan jiwa yang terpulihkan.

“Terima kasih Tuhan, karena Engkau mengizinkan kami berjalan bersama-Mu, dan bersama sesama, dalam damai Karmel yang tenang.”

“Carissimi, amemus nos invicem, quia Deus caritas est…Saudara-saudariku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi; sebab kasih itu berasal dari Allah…”(1Yoh 4:6)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *