Posted in

Sumbing Memanggil: Mitos, Pendakian, dan Pengalaman Tak Terlupakan

Setiap puncak gunung menjanjikan kisah, setiap langkah menyimpan makna mendalam. Pengalaman mendaki gunung selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup kami. Namun, ekspedisi kami kali ini terasa sangat berbeda. Bersama teman-teman, kami bertekad menaklukkan Gunung Sumbing, salah satu gunung berapi aktif yang megah di Jawa Tengah.

Bukan hanya medan yang terjal dan menguras tenaga yang kami antisipasi, melainkan juga sebuah mitos mendaki yang telah lama beredar di kalangan para pendaki, khususnya yang berkaitan dengan keberadaan seorang wanita yang sedang datang bulan.

Persiapan dan Kecemasan Awal

Kecemasan mulai muncul saat Ica, salah satu anggota tim, memberitahukan bahwa ia sedang dalam masa haid di awal pendakian. Awalnya, kami tidak terlalu memikirkannya. Saya pribadi sudah sering mendaki bersama Ica, dan kondisi ini tak pernah menjadi penghalang. Namun, bisikan-bisikan dari beberapa teman yang mengetahui rencana kami mulai menyeruak, menyuarakan kembali mitos larangan mendaki bagi wanita haid. Konon, keberadaan pendaki wanita yang sedang menstruasi dapat membuat gunung “marah”, memanggil “penunggu”, atau bahkan memicu cuaca ekstrem seperti hujan badai, kabut tebal, hingga kejadian mistis lainnya.

Saya berusaha menenangkan Ica, meyakinkannya bahwa semua itu hanyalah mitos belaka. Namun, jauh di lubuk hati, secuil kekhawatiran tak bisa dielakkan. Bagaimana jika mitos tersebut benar? Bagaimana jika pendakian Gunung Sumbing kami terganggu karena hal ini?

Perjalanan Penuh Tantangan dan Kejadian Tak Terduga.

Dengan semangat yang membara, kami memulai pendakian Gunung Sumbing. Jalur Sumbing memang terkenal dengan medannya yang menantang, dipenuhi tanjakan curam yang menguras setiap tetes energi. Awalnya, cuaca begitu cerah dan bersahabat, seolah menyambut kedatangan kami. Namun, seiring kami melangkah dari satu pos ke pos berikutnya, langit mulai menunjukkan perubahan drastis. Kabut tebal perlahan turun, disusul rintik hujan yang semakin lama semakin deras.

Berkali-kali kami harus berhenti dan mencari perlindungan. Angin kencang berhembus, menusuk tulang dan membuat suhu semakin dingin. Raut wajah Ica mulai terlihat cemas. “Jangan-jangan ini karena aku ya?” bisiknya, dengan nada suara yang sedikit takut. Saya mencoba meyakinkannya bahwa cuaca di gunung memang tak terduga, namun bayangan mitos itu terus saja menghantui pikiran kami.

Puncaknya, sesaat sebelum mencapai area camp, hujan badai turun dengan sangat lebat. Kilat menyambar-nyambar di kejauhan, menambah kengerian suasana. Kami bergegas mendirikan tenda, berharap badai segera berlalu. Malam itu terasa begitu panjang, diwarnai rasa dingin yang menusuk dan sedikit keputusasaan. Beberapa kali saya melirik Ica, ia tampak gelisah, seolah memikirkan hal yang sama dengan kami, terjebak dalam pusaran antara realitas cuaca ekstrem dan bayangan mitos.

Mematahkan Mitos, Menemukan Realita

Ketika mentari pagi menyapa, badai akhirnya mereda, dan semangat kami kembali bangkit. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Sumbing. Meskipun langit masih sedikit mendung, tekad kami tak goyah. Dan ya, kami berhasil mencapai puncak Sumbing, disambut dengan panorama lautan awan yang luar biasa memukau, sebuah hadiah atas perjuangan kami.

Saat beristirahat di puncak, merenungkan seluruh perjalanan kami, sebuah kesadaran penting menghampiri. Segala kejadian tak terduga yang kami alami, mulai dari hujan badai hingga kabut tebal, bukanlah disebabkan oleh kondisi haid Ica. Itu adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika alam pegunungan yang memang tak dapat diprediksi. Cuaca di gunung dapat berubah dengan sangat cepat, dan sebagai pendaki, kesiapan menghadapi segala kemungkinan adalah kunci utama.

Mitos-mitos semacam ini mungkin berakar dari kepercayaan turun-temurun atau sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Namun, seringkali mitos juga bisa memicu kecemasan yang tidak perlu, bahkan mengarah pada diskriminasi dan pembatasan yang tidak relevan.

Pelajaran Berharga dari Puncak Sumbing

Pengalaman mendaki Gunung Sumbing bersama Ica telah mengukir beberapa pelajaran berharga bagi kami:

1. Pentingnya Persiapan Fisik dan Mental: Lebih dari sekadar mempercayai mitos, kesiapan fisik dan mental yang prima adalah fondasi utama untuk keselamatan mendaki.

2. Menghormati Alam, Bukan Menakutinya: Alam memiliki kekuatan dan keindahan yang luar biasa. Kita wajib menghormatinya dengan menjaga kebersihan dan mematuhi aturan, bukan dengan dijerat ketakutan akan mitos yang tidak berdasar.

3. Mematahkan Stigma: Haid adalah proses alami bagi setiap wanita. Kondisi ini sama sekali tidak seharusnya menjadi penghalang atau stigma dalam melakukan aktivitas apapun, termasuk dalam dunia mendaki gunung.

4. Kebersamaan dan Dukungan: Dalam situasi sulit, dukungan dari rekan seperjalanan adalah krusial. Saling menguatkan adalah kunci untuk mencapai setiap tujuan, bahkan puncak Gunung Sumbing sekalipun.

Pendakian Gunung Sumbing kali ini bukan hanya meninggalkan jejak kaki di puncak, melainkan juga jejak pelajaran berharga di relung hati kami. Mitos mungkin akan selalu ada, namun pada akhirnya, logika, pengetahuan, dan persiapan yang matang lah yang akan membimbing kita menuju pengalaman mendaki yang aman, bermakna, dan tak terlupakan. Yang terpenting, setiap wanita berhak merasakan indahnya puncak gunung, tanpa perlu terkekang oleh mitos yang tak berdasar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *