Posted in

Thailand Resesi – Berita Terkini

Jalan-jalan di Bangkok mulai lebih sepi dari biasanya. Para pengemudi tuk-tuk yang dulu sibuk, kini memilih ngetem

Jarang mengangkut turis dari Erawan Shrine ke Chatuchak. Kini lebih sering menyeruput kopi di pinggir Jalan

Menunggu penumpang yang tak kunjung datang. Bau jahe dari warung tom yum tak mampu menyembunyikan aroma kekhawatiran yang menyebar perlahan.

Seperti kabut pagi yang tak juga pergi meski matahari sudah tinggi. Negeri Gajah Putih itu sedang bersiap menerima tamu lama yang tak diundang: resesi.

Resesi itu seperti hujan di musim kemarau. Tidak diharapkan, tapi datang juga.

Thailand, kata ekonom Kasikorn, Burin Adulwattana, hampir pasti akan masuk ke jurang resesi teknikal di semester kedua 2025.

Dua kuartal berturut-turut pertumbuhan PDB negatif. Tidak besar, memang.

Tapi seperti lubang kecil di kapal, jika tak cepat ditambal, bisa menenggelamkan seluruh dek ekonomi nasional.

Salahkan siapa? Donald Trump.

Ya, lelaki berambut emas itu masih saja memainkan drama perangnya kali ini bukan di Ukraina, bukan juga di Laut Merah, tapi di atas meja bea masuk.

Tarif resiprokal kembali dinaikkan. Skenario terburuk: 36% bea impor ke Amerika untuk produk Thailand.

Padahal ekspor Thailand seperti hidup Jakarta dengan proyek APBN—adalah napas panjang mereka.

Ekspor anjlok, turis tak kunjung ramai, dan anggaran stimulus dipotong lebih dari 80%. Tahun lalu masih 140 miliar baht.

Sekarang hanya 25 miliar. Itu pun karena pemerintah Thailand sudah lebih dulu mengobral dana lewat program dompet digital.

Tak ubahnya seperti rumah tangga yang membakar tabungan demi menyenangkan anak-anak saat tahun baru, lalu bingung membayar listrik bulan berikutnya.

Apa yang terjadi di Thailand, bisa menjalar ke Indonesia. Di dunia global yang saling terhubung ini, satu negara batuk, negara lain bisa ikut demam.

Ekonom modern seperti Dani Rodrik menyebutnya “trilema globalisasi” (Rodrik, The Globalization Paradox, 2011, hlm. 200):

Kata Rodrik, kita tidak bisa sekaligus punya kedaulatan nasional, demokrasi penuh, dan integrasi ekonomi global.

Harus pilih dua dari tiga. Thailand sedang dipaksa memilih.

Tapi Jakarta seperti tidak mau tahu. Kabinet masih sibuk berburu menteri baru untuk reshuffle jilid berapa pun itu.

Yang penting dapat jatah. Yang penting tetap duduk. Yang penting tetap bisa senyum ke kamera.

Padahal, kalau Thailand resesi, Indonesia bisa ikut ngos-ngosan. Apalagi 20% lebih wisatawan asing Indonesia berasal dari Asia Tenggara. Kalau tetangga sakit, pasar ikut lesu.

Bahkan Bank Dunia sudah menurunkan proyeksi Thailand jadi hanya 1,8%. Jika tarif ekspor makin keras, bisa jadi hanya 1,4%.

Dan itu… kalau Anda tanya ke mahasiswa semester dua Fakultas Ekonomi, mereka akan jawab: itu lampu kuning. Sangat kuning.

Tapi bukan hanya soal angka. Siam Commercial Bank merinci lebih lanjut:

Konsumsi rumah tangga melambat, kredit rumah tangga lesu, kualitas utang menurun, kepercayaan konsumen runtuh.

Bahkan pariwisata yang biasanya jadi andalan pun… goyah. Dulu, pariwisata Thailand itu seperti durian montong: besar, harum, dan selalu dicari.

Sekarang seperti salak busuk di pojok rak. Masih ada, tapi tak banyak yang mau sentuh.

Mereka pernah melewati ini sebelumnya. Pada 2020, saat Covid mengamuk, Thailand masuk resesi.

Bahkan lebih parah. Jauh sebelumnya, 2009, karena krisis finansial global. Dan puncaknya: 1997. Ah ya, 1997. Tahun ketika ekonomi Asia runtuh satu per satu seperti domino.

Tahun ketika IMF seperti dewa penyelamat yang turun dari langit. Thailand waktu itu seperti pesakitan, jatuh 12,5% bukan dalam satu dekade, tapi dalam satu kuartal!

Itu sebabnya, bau resesi kali ini sangat traumatis bagi mereka. Seperti PTSD bagi para veteran.

Dan Jakarta…?

Kita tidak lebih baik. Tapi kita pandai menyembunyikannya.

Di balik narasi optimisme, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sangat tergantung pada ekspor. Sekitar 23 persen terhadap PDB

Apalagi sekarang, Prabowo baru saja dilantik. Menteri-menterinya baru juga belajar cara membedakan Bappenas dengan Bappeda.

Mereka sedang mabuk jabatan. Belum sempat menengok apa yang terjadi di Bangkok.

Padahal, kata Joseph Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents (2002, hlm. 69), “dampak kebijakan satu negara bisa menciptakan guncangan besar pada negara lain jika sistem koordinasi ekonomi global lemah.”

Trump main tarif, Thailand terguncang. Kalau Thailand jatuh, investor mulai panik.

Kalau investor panik, capital flight bisa menjalar ke ASEAN lain, termasuk kita.

Apalagi konsumsi rumah tangga kita, seperti Thailand, sedang rapuh. Kredit melemah, pengangguran terselubung tinggi.

Seturut itu UMKM—yang menopang 60% PDB kita masih berkutat dengan bunga tinggi dan pasar yang lesu. Tapi siapa yang peduli?

Kita lebih suka membahas siapa yang jadi Kepala IKN daripada siapa yang akan menyelamatkan daya beli petani padi.

Kita lebih suka ramai soal siapa yang layak jadi Dirut Pertamina ketimbang menagih kenapa belum ada reformasi APBN struktural sejak 2015.

Kalau Thailand sampai jatuh ke resesi teknikal pada semester dua 2025, maka guncangannya akan terasa di Jakarta.

Harga beras naik karena bahan pangan dari ASEAN terganggu. Investasi tertahan. Daya beli kita makin ambruk.

Tapi tenang saja. Kita ahli menyembunyikan semua itu di bawah karpet data. Seolah-olah stabil, seolah-olah aman.

Padahal, resesi bukan sekadar angka. Ia seperti kabut yang menyusup ke pori-pori kota. Melemahkan semangat kerja. Menumpulkan harapan.

Menyuburkan apatisme. Dan seperti di Thailand, bisa dimulai dari pemotongan anggaran stimulus yang terlalu cepat, terlalu drastis, demi jaga citra fiskal yang kaku.

Paul Krugman dalam End This Depression Now! (2012, hlm. 27) mengatakan: “Kesalahan terbesar dalam krisis adalah terlalu cepat menarik stimulus ketika pemulihan belum mapan.”

Thailand kini mengulangi kesalahan itu. Akankah kita juga?

Ekonomi itu seperti mesin tua. Kalau ingin tetap hidup, harus terus disiram bahan bakar. Kalau diguyur air, ya mati. Kalau dibiarkan dingin, ya macet.

Jangan sampai kita baru sadar saat terlalu lambat. Ketika pasar saham runtuh, kredit macet menumpuk, dan rakyat mulai kembali ke pasar barter.

Di Bangkok, kita melihat itu semua mulai terjadi. Sebagai cermin. Sebagai peringatan.

Sayangnya, di Jakarta, tak banyak yang suka bercermin. Yang ada hanya sibuk menata rambut dan menyemprot parfum, padahal tubuh sudah berkeringat resesi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *